Era reformasi yang berbasis sistim politik demokrasi, terbuka
kesempatan yang seluas luasnya bagi warganegara termasuk para elit
politik yaitu individu-individu terbaik yang berhasil dan mampu
menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat, untuk mengekspresikan
gagasan-gagasan, pendapat dan tindakan secara bebas dalam segala
aspek kehidupan. Kebebasan sebagai salah satu dimensi demokrasi mendapat
sambutan yang sangat antusias dalam masyarakat yang sedang mengalami
transisi demokrasi yang terkadang cenderung kebablasan. Euforia
kebebasan yang berlebihan dalam bidang politik misalnya membuat wajah
politik Indonesia terasa semakin karut marut. Padahal sejatinya
reformasi adalah ijtihad politik bangsa untuk mengadakan
perubahan-perubahan dan penataan kelembagaan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara menuju Indonesia yang lebih baik, sesuai dengan
perkembangan zaman yang penuh tantangan yang semakin berat dalam dunia
yang semakin mengglobal.
Karut marutnya perpolitikan di negeri ini karena “politik” dimaknai
oleh para aktor politik (pemimpin politik, aktivis politik, individu
warganegara biasa) hanya sekedar berburu kekuasaan dengan menghalalkan
segala cara, termasuk menggunakan money politic tanpa
mengindahkan etika dan moral sehingga menimbulkan kekacauan politik,
bentrokan horizontal dan vertikal, anarkisme, ramai dengan politik
transaksional, penyalahgunaan wewenang, korupsi menjalar ke berbagai
cabang kekuasaan negara, seperti, Eksekutif, Legislatif, Yudikatif,
Mahkamah Konstitusi, dan Pemerintah Daerah. Para elit politik (pejabat
negara dan pemerintah dalam arti luas ) yang seharusnya menjadi
tauladan dalam mewujudkan good governance, namun diantara
mereka tidak sedikit yang terbelit dengan persoalan korupsi.
Beberapa
contoh korupsi yang melibatkan elit politik dapat dikemukakan
diantaranya kasus cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur BI, kasus
Nazarudin, mafia badan anggaran DPR, kasus di Kemenakertrans, kasus
wisma atlet Sesmenpora, Surat palsu Mahkamah Konstitusi, 17 Gubernur dan
140 Bupati dan Walikota tersangkut pidana korupsi, dan masih banyak
lagi yang belum terungkap. Demikian juga Partai politik yang
seharusnya menjadi pilar bagi tegaknya demokrasi, ternyata tidak sedikit
yang menjadi penghambat jalannya demokrasi.
Beberapa Kasus tersebut menandakan bahwa dekadensi moral tengah
melanda ke berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Reformasi yang diharapkan membawa keadilan, kebenaran, damai,
sejahtera, ternyata melenceng dan amburadul. Pelanggaran etika dan
kepatutan sering kali dipertontonkan oleh para elit politik dalam
perilaku politiknya, yang seharusnya mereka memperjuangkan kepentingan
rakyat, namun dalam realitanya lebih mementingkan kepentingan pribadi
dan kelompoknya. Dilain pihak peran serta rakyat dalam proses
pengambilan keputusan sering kali diabaikan sehingga dapat menimbulkan
sikap apatisme publik dan rendahnya derajat legitimasi dari setiap
keputusan yang diambil sehingga dapat memicu munculnya konflik di
masyarakat.
Oleh karena itu bila perilaku politik tersebut tidak berubah dan
tanpa bimbingan moralitas, akan sangat membahayakan kehidupan
bermasyarakat, bangsa dan negara. Banyak negara mengalami kegagalan
dikarenakan rusaknya moral para penyelenggara negara dan masyarakat.
Tulisan ini akan membahas perilaku politik dari perspektif etika
politik. Sebab perilaku politik tanpa bimbingan moral tidak
mencerminkan karakter politisi sejati yang cerdas, rela berkorban, dan
senantiasa mengutamakan kepentingan publik.
Etika Politik Demi Kebermartabatan
Etika dan moral memiliki hubungan yang sangat erat dan
sering kali disamakan, pada hal memiliki makna yang berbeda. Moral yaitu
merupakan suatu ajaran-ajaran atau wejangan-wejangan, patokan-patokan,
kumpulan peraturan baik lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia
harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. Adapun etika
adalah suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku
manusia. Sebelum membahas etika politik, terlebih dahulu memahami
tentang etika dan moral, yang dikemukakan oleh para ilmuwan.
Menurut Abdullah (dalam Rahmaniyah 2010) etika adalah suatu ilmu yang
membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang
dapat dinilai baik dan mana yang dapat dinilai buruk dengan
memperlihatkan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat dicerna akal
pikiran. Sedangkan I Gede AB Wiranata etika merupakan refleksi manusia
tentang apa yang dilakukan dan dikerjakannya. Etika adalah wahana
orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab suatu pertanyaan yang amat
fundamental. Etika sering disebut filsafat moral. Etika membantu manusia
menyuluhi kesadaran moralnya dan turut serta mencari pemecahan yang
dapat dipertanggungjawabkan. Etika juga dapat membantu untuk mencari
alasan mengapa suatu perbuatan harus dilakukan atau sebaliknya untuk
tidak dilakukan.
Sumber
No comments:
Post a Comment